twitter


Dari milis tetangga...

Obama
Bukan Presiden Indonesia!


Beberapa
jam setelah Senator Obama menang dalam pemilu, Presiden Bambang Yudhoyono
memberi ucapan selamat sambil sedikit bernada “memohon”, dengan
mengingatkan masa kecil Obama di Indonesia. Siapa tahu Obama agak berbaik dan
punya kebijakan khusus untuk Indonesia. Memang Presiden SBY punya kesempatan
bertemu Presiden Barack Obama hingga 20 Oktober 2009. Bisa menjadi tamu atau
menjamu saat Obama ‘welcome home” ke Indonesia.

Nada SBY itu
menjadi cerminan publik Indonesia yang begitu antusias merayakan kemenangan
Obama, sehingga terkesan berlebihan. Bahkan, kawan saya bilang, “orang
Indonesia seperti orang Amerika yang tak punya hak pilih”.Hanya karena
Obama pernah tinggal di Jakarta dan berayah tiri pria Jawa, kita merasa Obama
milik Indonesia. Yang kita harus ketahui, Obama dipilih oleh rakyat Amerika.
Dia harus membayar harga itu mati-matian dengan menjalankan kebijakan yang
menguntungkan Amerika. Tidak peduli dengan negara lain. Apakah itu Kenya atau
Indonesia, ya kalau tak menguntungkan Amerika, buat apa dibela atau
diurusin.

“Hitler’s
birthplace syndrome”

Wajar kalau
orang Indonesia semarak dengan kemenangan Obama. Belum pernah dalam sejarah
kita ada presiden negara asing yang punya kaitan emosional dengan Indonesia
seperti kasus Obama. Apalagi Obama akan menjadi presiden dari negeri terkuat di
dunia. Di Suriname, sebuah negeri nan jauh di Amerika Selatan sana, memang
banyak politisi dan menteri berdarah Jawa. Bahkan mereka mencanangkan tahun
2012 akan ada orang Jawa menjadi presiden Suriname. Ya, mau Amerika atau
Suriname, tetap aja mereka akan bela dan mementingkan negeri mereka.



Kalau saya
analisa, kaitan Obama dengan Indonesia mungkin bisa dijelaskan dengan teori
yang saya sebut “Hitler’s birthplace syndrome”. Kalau mau
dibilang sebuah penyakit, sindrom ini memperlihatkan, bahwa memori, latar
belakang dan memori seseorang tidak akan membawa nilai positif terhadap tingkah
lakunya.



Lihatlah
Hitler. Dia kelahiran kota Wina, Austria. Namun dia menyerbu negeri
kelahirannya, setahun sebelum Perang Dunia Kedua dimulai. Orang yang terkena
gejala ini banyak. Umumnya orang pemerintahan Amerika. Jenderal Dwight
Eisenhower (kemudian menjadi Presiden AS ke 34), harus menghancurkan Jerman dan
akhirnya mengalahkan Hitler. Padahal kedua orang tuanya berdarah Jerman. Henry
Kissinger, penentu kebijakan luar negeri AS selama tiga dasawarsa, juga
kelahiran Jerman. Tapi tak gunanya nostalgia itu bagi Jerman.



Lebih parah
lagi, sewaktu Jimmy Carter (yang tak punya pengalaman luar negeri) menjadi
presiden AS ke-39, dia memilih seorang strategis berotak cemerlang kelahiran
kota Warzawa (Polandia). Namanya Zbigniew Brzezinski, untuk menjadi Ketua
Dewan Keamanan Nasional. Dalam menjalankan kebijakannya, Brzezinksi harus
menghancurkan reputasi dan hegemoni negara-negara Pakta Warzawa (blok komunis),
yang kala itu sedang hangat-hangatnya perang dingin antara AS (kapitalis) dan
Uni Soviet (komunis).

Di
Indonesia, memang ada beberapa orang pejabat asing kelahiran Indonesia atau
memiliki kaitan emosional dengan negeri ini. Tetapi hal itu terbukti tidak
bermanfaat.


Paul
Wolwofitz, bekas dubes AS di Jakarta, arsitek Perang Teluk dan mantan Presiden
Bank Dunia, memiliki ikatan emosional dengan Jawa. Istrinya pandai bicara Jawa
dan lama mondok di sini waktu ikut program AFS. Ya itu tadi, nostalgia ya
nostalgia. Amerika tetap nomor satu. Neneknya Lee Kuan Yew, pendiri
Singapura berasal dari kota Semarang. Lalu apa untungnya buat Indonesia? Gak
ada! Tun Abdul Razak, PM Malaysia adalah keturunan bangsawan Bone, Sulawesi
Selatan. Tapi tak bermanfaat fakta itu untuk kita. Bahkan anaknya, Najib Razak,
calon PM Malaysia, merampas pulau Sipadan dari kita.

Lihat saja,
apa untungnya Austria dengan Gubernur California Arnold Scharwznegger
(kelahiran Wina)? Nggak ada! Paling-paling cuma dibuatkan patung di kota
kelahirannya. Hanya sebatas kebanggaan


Sebaiknya
kita tidak usah berharap dan berlebihan meminta sesuatu dengan Obama untuk
Indonesia. Dia dipilih dan dibiayai oleh rakyat Amerika, bukan kita. Apalagi
diperburuk bahwa Obama seorang dari partai demokrat. Kita semua tahu, presiden
AS dari partai demokrat sangat kritis dan kurang menyukai Indonesia. Jimmy
Carter dari demokrat adalah presiden AS yang paling tidak suka dengan
Indonesia. Bill Cinton yang juga dari kubu yang sama, membiarkan (atau memang
memaksa) Timor Timur lepas dari Indonesia. Padahal, pendahulunya (semuanya kaum
republik), mendukung, membela dan mempertahankan posisi membela Indonesia dalam
kasus Timor Timur di panggung internasional.



Obama
sendiri tidak pernah secara terbuka atau blak-blakan memuji (memang tidak ada
yang bisa dipuji) atau menyebut Indonesia dengan nada bangga (memang tidak ada
yang bisa dibanggakan) . Dia lebih senang menyebut “pengalaman kecil saya
di Asia Tenggara”, daripada “masa kecil saya di Indonesia”.
Obama juga tidak aktif membela Indonesia di Kongres. Beberapa anggota Kongres
AS dibiarkannya, yang sok ikut campur dan tidak mengerti masalah lokal sini,
sampai berani menggugat integritas Papua dengan Indonesia. Indonesia sudah
menjadi negeri asing bagi dia, seraya mengecam kaum militer Orde Baru yang
represif dalam bukunya.



Obama tinggal
dan sekolah di Indonesia, karena terpaksa ikut ibunya, bukan kemauan sendiri
atau cinta dengan Indonesia. Ibunya-lah yang cinta Indonesia. Sangat naïve
meminta Obama punya perhatian khusus kepada Indonesia

Obama adalah
senator cemerlang dan memiliki visi ke depan. Jadi dia akan lebih rasional
bertindak, sambil mengartikulasi sebuah hubungan baik antara AS dan RI dengan
rinci yang berpijak pada kepentingan Amerika.



Untuk
lucu-lucunya, lebih baik kita membantu dan membiayai partai politik di Suriname
seperti Kerukunan Tulodo Pranata Inggih (Partai Kesatuan dan Persatuan) atau
Pertjaja Luhur (Partai Buruh). Siapa tahu mereka bisa menjadikan orang Jawa
menjadi Presiden Republik Suriname. Nah, yang seperti ini tentu sedikit beda
dengan kasus Obama. Namanya juga orang Jawa


sumber :
Iwan Kamah

0 komentar: